Metro independen– Ternyata perseteruan antara Serikat Tani Tebo (STT) dengan PT Wira Karya Sakti (WKS) mendapatkan respon oleh sejumlah pejabat Pemerintah Provinsi Jambi. Salah satunya Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Jambi Agusrizal.
Namun sayang, bukan membela hak masyarakat, pejabat eselon II yang mewakili suara Pemerintah Provinsi Jambi tersebut malah menyalahkan masyarakat yang telah menduduki lahan tanpa ijin.
“Jangan dibalik seolah perusahaan salah. Coba kita baca undang undang 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Siapa yang ilegal ?,” kata Agusriza melalui WhatsApp, Sabtu (03/10/2020).
Saat ditanya mengapa Pemprov Jambi membela PT WKS bukan para petani, Ia malah menjawab,”Kalau masyarakat ingin mengelola lahan dalam kawasan hutan yang sudah ada pemegang izin HTI, ada aturannya yaitu melaksanakan kemitraan dengan perusahaan pemegang izin yang bersangkutan,” jawabnya.
Sementara kalau pihak perusahaan tidak mau bekerjasama dengan masyarakat, bagaimana tugas Pemda, apakah mediasi apakah tetap menyalahkan masyarakat?
“Ada Dinas Kehutanan. Di tingkat kabupaten ada UPTD Kesatuan Pengelolaan Hutan. Yang penting masyarakatnya mau kemitraan, jangan menuntut tanah menjadi Hak Milik. Tapi hak Kelola. Kalau masih mau menjadi hak milik tidak bisa dalam kawasan hutan. Berlaku UU Kehutanan, bukan UU Agraria,” tuturnya.
Diketahui, tercatat beberapa tahun terakhir ini, tidak sedikit anak perusahaan Sinarmas berulah. Seperti tahun 2019 silam, PT KDA yang berdomisili di Desa Jelatang Kecamatan Pamenang, Kabupaten Merangin sempat bermasalah karena limbah pabrik CPO yang menggangu kesehatan warga.
Seaakan tidak jera dan kebal hukum, kali ini giliran PT Wira Karya Sakti (WKS) yang kembali berulah dan dituding telah menyerobot lahan para petani di Kabupaten Tebo.
Sontak, hal ini pun membuat ratusan petani gerah dan mendatangi gedung DPRD Provinsi Jambi beberapa waktu lalu pas bertepatan dengan Hari Tani Nasional 2020. Kedatangan petani itu pun langsung disambut baik Anggota DPRD Provinsi Jambi Kamaludin Havis dan Kamal Siregar.
Dihadapan petani Dewan Provinsi pun berjanji akan menyelesaikan masalah antara petani dengan PT WKS.
Melihat tak ada jeranya Sinarmas mengacau di Provinsi Jambi, para petani petani pun menyatakan sikap mereka.
Berikut Pernyataan Sikap Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) terkait tindakan – tindakan PT. WKS terhadap petani di Kabupaten Tebo, Jakarta 29 September 2020.
Dengan alasan pandemi Covid-19, peringatan Hari Tani Nasional 2020 dan 60 tahun kelahiran Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) di berbagai daerah direpresif oleh aparat keamanan.
Sementara, perusahaan-perusahaan yang secara brutal menggusur tanah-tanah petani terus dibiarkan. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat, sejak Maret-September telah terjadi 37 letusan konflik agraria di berbagai wilayah di Indonesia.
Ironinya, di berbagai peristiwa penggusuran tersebut, aparat keamanan turut membengkingi perusahaan perampas tanah-tanah petani. Akibatnya, 39 orang petani dikriminalisasi dan dianiaya, serta dua orang tewas.
Sehari pasca HTN, PT. Wira Karya Sakti (WKS), anak perusahaan Sinar Mas Group, kembali berulah. Mereka menggusur tanah petani Serikat Tani Tebo (STT) di Desa Lubuk Mandarsah, Kecamatan Tengah Ilir, Kabupaten Tebo, Jambi. Selama dua hari, sejak Sabtu, 26 September 2020 hingga Minggu, 27 September 2020, pihak perusahaan terus melakukan penggusuran tanah-tanah petani.
Saat penggusuran berlangsung, Ketua STT, Martamis menemui Pohan, perwakilan perusahaan, meminta agar penggusuran dihentikan. Alih-alih mengikuti, pihak perusahaan terus menyuruh operator melakukan penggusuran kebun-kebun petani.
Hal ini patut disayangkan, pasalnya pada tanggal 19 September 2020, PT. WKS telah menyetujui kesepakatan dengan petani agar menghentikan penggusuran terhitung sejak 20 September 2020.
Sementara, para petani Desa Lubuk Mandarsah, Tebo, termasuk perempuan petani, Nyai Swin, Nyai Yusma bersama perempuan lainnya menghadang alat berat yang hendak melakukan penggusuran.
Dalam salah satu rekaman kejadian, terlihat pihak perusahaan terus membujuk dan mamaksa Nyai Yusma, Ketua Kelompok Tani Lubuk Mandarasah agar petani mau bermitra dengan PT. WKS.
Nyai Yusma secara tegas menolak, “Kami tidak mau bermitra, dari dulu kami digusur, durian, duku, karet yang kami tanam di lahan ini habis digusur WKS, kami masyarakat garap sendiri, tapi perusahaan gusur. Saya ini tidak ada suami sampai terkilir kaki saya buka lahan untuk berkebun. Anak saya tidak sekolah gara-gara digusur PT WKS. Tanah ini peninggalan moyang kami durian, duku sekarang habis digusur. Pokoknya kami tidak mau bermitra dengan PT. Ini tanah kami, punya masyarakat, haknya rakyat.”
Tindakan-tindakan penggusuran dan intimidasi yang dilakukan oleh PT. WKS seakan tidak tersentuh Negara. Pemerintah tidak pernah menyikapi secara serius proses penyelesaian konflik antara petani dengan pihak perusahaan yang telah terjadi sejak 2006 ini.
Janji reforma agraria dari klaim kawasan hutan negara mangkrak. Padahal, dalam rentang waktu di atas, sudah banyak jatuh korban di pihak petani. Bahkan di masa pandemi saja, PT. WKS telah tiga kali melakukan penggusuran dan intimidasi kepada petani.
Tahun 2007, Sukamto tewas saat menghadang alat berat yang akan menggusur tanaman padi yang akan memasuki masa panen. Setahun berselang, 9 orang petani dikriminalisasi dan dijatuhi hukuman 15 bulan penjara. Tiga tahun berikutnya, PT. WKS kembali mengkriminalisasi satu orang petani, yakni Karyono Setio.
Terakhir, Indra Pelani tewas pada 2015, ia dibunuh oleh security perusahaan saat para petani melakukan panen raya pada tanggal 27 Februari 2015. Indra Pelani tewas saat melakukan persiapan panen raya, dihadang dan diculik hingga ditemukan tewas keesokan harinya.
PT. WKS – Sinarmas Grup adalah contoh perampas dan pelaku monopoli tanah di Indonesia, pelanggar Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Sayangnya pemerintah seakan melegitimasi praktek-praktek tersebut. Konflik-konflik tersebut didominasi oleh konflik di sektor perkebunan dan kehutanan. Luasan konsesi HTI PT. WKS di Provinsi Jambi mencapai 290 ribu hektar lebih. Dalam catatan KPA, dari luas 24 konflik agraria yang saat ini terjadi di Jambi, sebagian besarnya disebabkan oleh penguasaan PT. WKS. Pihak perusahaan merampas 14.286 hektar tanah dari 3.446 KK petani di 15 desa dan lima kabupaten, yakni Batanghari, Tebo, Muaro Jambi, Tanjung Jabung Barat dan Tanjung Jabung Timur. Korban tidak hanya berjatuhan di Lubuk Mandarsah, di Desa Senyerang, Tanjung Jabung Barat, Ahmad Adam, salah seorang petani tewas pada tahun 2010 silam karna berkonflik dengan perusahaan.
Sikap diam pemerintah terhadap rentetan peristiwa di atas jelas kontraproduktif dengan janji reforma agraria. Alih-alih menyelesaikan konflik dan meredistribusi tanah untuk rakyat, di lapangan korporasi-korporasi besar terus leluasa melakukan penggusuran. Perampasan yang dilakukan PT. WKS juga indikasi bahwa negara telah kalah dengan korporasi besar. Pasalnya, satu orang petani yang digusur telah memiliki Sertifikat Hak Milik (SHM), dari 6 orang yang sudah mendapatkannya sejak 2018.
Atas situasi di atas, KPA mengutuk keras penggusuran yang dilakukan oleh PT. WKS. Menuntut Presiden, Kapolri, dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) segera:
1. Menghentikan langkah-langkah kontraproduktif yang dilakukan PT. WKS di lapangan;
2. Mengevaluasi dan cabut izin PT. WKS untuk dijadiikan objek Reforma Agraria bagi petani Tebo
3. Segera merealisasikan reforma agraria, tanah untuk petani dan buruh tani/kebun di Jambi.
Demikian pernyataan sikap ini kami sampaikan, agar dapat dipahami oleh semuah pihak
Jakarta, 29 September 2020
Konsorsium Pembaruan Agraria
Dewi Kartika
Sekretaris Jenderal ( team,red )