Metro independen – Peresmian penjaminan kredit senilai Rp 100 triliun hingga 2021 itu dihadiri langsung oleh Menko Perekonomian Airlangga Hartarto yang baru saja ditunjuk sebagai Ketua Komite Kebijakan Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), pada hari Kamis 30/7/20.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, serta Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso. Penjaminan pinjaman untuk segmen korporasi swasta itu melengkapi stimulus yang telah diberikan kepada usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) serta BUMN.
Penjaminan kredit korporasi non-BUMN tersebut juga menjadi respons positif pemerintah terhadap keluhan perusahaan- perusahaan besar yang sebelumnya merasa dianaktirikan dalam pemberian stimulus untuk pemulihan ekonomi. Dalam revisi APBN 2020 kedua,
pemerintah tercatat menganggarkan dana penanganan pandemi Covid-19 dan PEN senil a I Rp 695,20 triliun. Anggaran tersebut dibagi untuk enam sek tor, yakni ke sehatan Rp 87,55 triliun, perlindungan sosial Rp 203,90 triliun, insentif usaha Rp 120,61 triliun, UMKM Rp 123,46 triliun, pembiayaan korporasi BUMN dan swasta Rp 53,57 triliun, serta sektoral kementerian/ lembaga dan pemerintah daerah Rp 106,11 triliun.
Program Penjaminan Kredit modal kerja untuk korporasi swasta Bila dirinci, anggaran untuk dukungan bagi UMKM tersebut terbagi atas enam pos, yakni subsidi bunga Rp 35,28 triliun, penempatan dana pemerintah untuk restrukturisasi Rp 78,78 triliun, belanja imbal jasa penjaminan (IJP) Rp 5 triliun,
penjaminan untuk modal kerja (stop loss) Rp 1 triliun, pajak penghasilan (PPh) final UMKM ditanggung pemerintah (DTP) Rp 2,40 triliun, serta pembiayaan investasi kepada koperasi melalui Lembaga Pengelola Dana Bergulir (LPDB) Koperasi, Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Rp 1 triliun.
Sementara itu, untuk pembiayaan korporasi BUMN dan swasta terbagi untuk tiga pos. Rinciannya adalah penempatan dana untuk restrukturisasi korporasi padat karya Rp 3,42 triliun, yang tidak secara tegas disebutkan apakah ini hanya untuk korporasi swasta ataukah juga untuk BUMN.
Sedangkan pos kedua dan ketiga jelas khusus untuk BUMN, yakni berupa Penyertaan Modal Negara Rp 20,50 triliun (Hutama Karya Rp 7,5 triliun, Bahana Pembinaan Usaha Indonesia Rp 6 triliun, Permodalan Nasional Madani Rp 1,5 triliun
.
Indonesia Tourism Development Corporation Rp 0,5 triliun, dan Perusahaan Pengelola Aset Rp 5 triliun); serta pinjaman Rp 29,65 triliun (Garuda Indonesia Rp 8,5 triliun, Kereta Api Indonesia Rp 3,5 triliun, PTPN Rp 4 triliun, Krakatau Steel Rp 3 triliun, Perumnas Rp 0,65 triliun, dan Perusahaan Pengelola Aset Rp 10 triliun).
Menteri Koordinator Bidang perekonomian Airlangga Hartarto bersama menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso menyaksikan Penandatanganan Perjanjian Kerjasama dan Nota Kesepahaman program penjaminan pemerintah kepada korporasi padat karya dalam rangka percepatan Pemulihan Ekonomi Nasional.
Kemenkeu mengatakan Stimulus tersebut pengucurannya juga masih lambat, yang terealisasi baru sekitar 19,56%. Artinya, yang mesti digenjot dalam lima bulan ke depan mencapai 80,44%.
Itulah sebabnya, penjaminan kredit korporasi non-BUMN dan non-UMKM senilai Rp 100 triliun tersebut sangat strategis.
Terobosan ini memberi kesempatan bagi korporasi untuk melakukan rescheduling kredit dan kemudian mendapatkan kredit modal kerja baru guna membuka kembali usaha, mentransformasi bisnis sesuai kebutuhan masa pandemi dan sesudahnya, serta memperkuat daya tahan perusahaan ke depan.
Dengan adanya penjaminan kredit ini, ekonomi Indonesia pada kuartal III dan IV dapat ditopang oleh geliat korporasi yang memberi an dil besar terhadap produk domestik bruto (PDB) maupun penyerapan tenaga kerja.
Penjaminan kredit korporasi ini juga akan memberikan appetite ke pada pelaku usaha untuk bangkit. Kredit bank umum yang diberikan kepada pihak ketiga Dengan menggeliatnya kembali dunia usaha, berarti kredit perbankan yang sekarang stagnan juga bakal segera bergerak dan orang kembali bekerja.
Ini cara yang sangat efektif untuk memulihkan ekonomi Indonesia, dengan tentu saja tetap menjalankan disiplin protokol kesehatan yang ketat. Kita juga harus belajar dari pengalaman pada kuartal II lalu yang ternyata kontraksi ekonominya diperkirakan lebih dalam menembus 4,3%, dari prediksi semula 3,8%, antara lain akibat lambannya pencairan stimulus pemerintah.
Untuk itu, semua stimulus pemerintah harus digenjot pengucurannya lebih banyak di kuartal III yang tersisa dua bulan ini. Selain itu, penerima penjaminan diperluas ke semua sektor yang lain, agar stimulus bisa benar-benar nendang, bisa mendorong ekonomi bergerak positif lagi dan kita terhindar dari resesi.
Selain itu, momentum ini juga bisa untuk mencapai tujuan agar ekonomi nasional bisa bertransformasi ke industri manufaktur dan jasa modern yang bernilai tambah tinggi, sesuai kebutuhan di masa pandemi dan sesudahnya.( Team,red,group )