Metro independen .com – Jakarta ,Mungkin banyak yang tidak menyangka kalau Menkumham, Yasonna Laoly itu berlatar belakang aktivis organisasi, akademisi, intelektual dan pimpinan perguruan tinggi. Dan, ia juga bergelar profesor, yang merupakan lulusan Master Virginia Commonwealth University, Doktor North Carolina University, Internship in Higher Education Administration Roanoke College, Salem Virginia, USA.
Serta, pernah meraih penghargaan sebagai Outstanding Graduate Student Award Virgina Commwealth University, yang merupakan penghargaan sebagai salah satu lulusan terbaik di universitas itu.
Lalu, apa yang terjadi? Mahasiswa merasa sok hebat debat di hadapannya, di acara ILC yang dipandu oleh Karni Ilyas.
Akan tetapi, selain sok hebat tadi, para aktivis mahasiswa itu ada juga yang mengeluarkan pernyataan-pernyataan ngawur terkait RUU KPK dan RUU KUHP. Akibatnya, Yasonna pun naik pitam. Sehingga, dengan keras ia menampar (bukan dalam arti yang sebenarnya) para mahasiswa yang tidak paham pokok permasalahan tapi banyak bacot tersebut.
Berikut beberapa pernyataan politikus PDIP asal Nias itu menskak mat para mahasiswa yang merasa lebih hebat dari dirinya tersebut.
Pertama, Yasonna meyampaikan latar belakang dirinya. Bahwa dia adalah orang Sumatera. Jadi kalau bicara agak terus terang dan pedas.
Ia pun menjawab soal tudingan UU KPK. Bahwa UU KPK sudah disahkan. Sedangkan, bedasarkan Pasal 1 ayat 3 UUD 1945, negara kita adalah negara hukum. Kalau satu undang-undang sudah disahkan, ada mekanisme konstitusional yang bisa ditempuh, yakni gugatlah di MK. Bukan di mahkamah jalanan.
Yasona turut menyampaikan, kalau dirinya masih muda dulu juga merupakan aktivis mahasiwa. Ia menyindir mereka yang suka mengkritik tanpa data dengan mengatakan, “kalau dirinya mau berdebat, baca dulu bahan yang mau diperdebatkan sampai sejelas-jelasnya, baru berdebat. Kalau ini jujur, sebagai dosen saya malu dengan apa yang disampaikan oleh para mahasiswa. Gak baca, kasih komentar. Didengar orang banyak di ILC”.
Kemudian, mantan Ketua Umum Mahasiswa Nias itu menjelaskan soal RUU KUHP. Bahwa KUHP saat ini sudah berusia 72 tahun. Kalau dihitung dari jaman Belanda menjadi 126 tahun. Dan, RUU ini sudah dibahas 7 presiden.
Makanya, waktu pembahasan tingkat pertama selesai, pakar HAM, Prof Muladi sampai meneteskan air mata, sembari berkata “kami sudah membayar hutang kami kepada profesor-profesor kami dan guru-guru kami yang sebelumnya. Ini adalah perjuangan panjang anak bangsa untuk menggantikan hukum kolonial”.
Yasonna juga mengingatkan bahwa UU ini dibahas tidak ujug-ujug dan tanpa adanya proses. Sebelumnya, pergi ke kampus-kampus untuk konsultasi. Dan setiap Panja terbuka untuk umum. Tiap Raker terbuka untuk umum. Oleh sebab itu, ketika ada perdebatan, mengatakan mengapa gelandangan dan burung unggas diatur. Bahkan dimuat di koran-koran kredibel. Menkum HAM kecewa dengan koran-koran kredibel yang memuat seperti itu. Karena, itu ada di KUHP lama yang hendak diperbaiki. Kalau di KUHP, gelandangan itu dihukum pakai pidana, sekarang diubah menjadi denda. Kalau tidak mampu bayar denda, bisa dimungkinkan dihukum kerja sosial dan dididik.
Kalau peraturan yang ditolak itu ada di KUHP lama, sekarang diperbaiki, kok diprotes? Kenapa gak digugat ke MK dari dulu?
Dalam proses revisi UU KUHP ini, Kemenkum HAM juga berdebat dengan Komnas HAM, KPK, Jaksa Agung, BNN, polisi dll. Sehingga Yasonna sedikit emosi, karena yang disebarkan ke publik sesuatu yang tidak benar, sehingga viral. Sampai-sampai ada aktivis yang bilang kalau seorang perempuan berjalan di tengah malam akan ditangkap. Dari mana sumbernya itu? Karena tidak ada di RUU KUHP.
Yasonna turut menjelaskan bahwa orang-orang paling jujur yang telah mendedikasikan hidupnya untuk negeri ini, membuat RUU KUHP ini sejak 56 tahun yang lalu. Jaman Pak Harto dicoba. Dirumuskan-dirumuskan-dirumuskan. Jaman Pak SBY juga pernah diajukan ke DPR, sampai ke tahap pembahasan dan pembentukan Pansus. Jadi, proses pembuatan RUU KUHP ini tidak mudah. Dan, DPR tidak pernah menutup kesempatan kepada siapapun untuk membahas ini.
Tapi oke, sekarang bisa diperdebatkan lagi, karena pengesahannya ditunda oleh presiden. Dan, penundaan pengesahaan itu sudah diumumkan lebih dari 6 hari yang lalu. Tapi pertanyaannya, kenapa masih ada demo. Ada apa gerangan?
Selanjutnya, soal penyerangan harkat dan martabat presiden. Presiden pernah bilang, “saya sudah biasa dihina, gak apa-apa pasal ini dihilangkan, saya tidak masalah untuk bangsa ini”. Tetapi, apakah kita tidak melihat untuk presiden-presiden yang akan datang untuk republik ini? Sebagai bangsa yang beradab, yang berdasarkan Pancasila, tentu kita tidak mau pemimpin dibuat seperti itu.
Disini, juga dikatakan harus tertulis. Kita pribadi saja, yang bukan presiden, yang tidak dipilih oleh 100 juta rakyat Indonesia, kalau kehormatan kita diserang, kita menuntut. Apalagi seorang kepala negara. Tentu kita akan menjadi bangsa yang tidak beradab kalau membiarkan pribadi presiden diserang seperti itu.
Jadi, kalau para aktivis dan mahasiswa setuju soal pasal penyerangan harkat dan martabat presiden dihapus, dikatakan oleh Yasonna bahwa “kebebasan yang sebebas-bebasnya bukan kebebasan tapi anarki”. Makanya. pasal 28j UUD 1945 membatasi hak-hak asasi manusia, bisa dengan UU. Supaya negara kita tidak menjadi chaos akibat terlalu bebas.
Penulis sih, sangat mengapresiasi dan menghargai semangat adik-adik mahasiswa tersebut dalam memperjuangkan hukum bagi negeri ini. Tapi dalam hal ini juga sangat menyayangkan, minimnya pengetahuan sumber pokok masalah yang mereka perjuangkan. Sehingga, mereka terlihat sangat bodoh di depan pakar hukum dan mantan aktivis pula.
Jadi, wajar doang, kalau professor hukum, Yasonna sampai naik pitam. ( team )