Metro independen – Rencana Uni Eropa (UE) membatasi penggunaan minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO) sepanjang 2021-2023 berbuntut panjang. Sebab, langkah ini dinilai cukup merugikan Indonesia, salah satu eksportir terbesar minyak kelapa sawit di dunia.
Meski UE telah berulang kali menegaskan alasannya melarang penggunaan minyak sawit terkait masalah lingkungan yang ditimbulkan dari pertanian sawit. Namun, pemerintah RI mengaku tidak akan diam saja melihat sikap UE tersebut, bahkan berencana memboikot Airbus.
Saat ditanya tanggapannya mengenai masalah ini, Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia dan Brunei Darussalam Vincent Piket mengatakan bahwa apa yang dilakukan UE terhadap sawit Indonesia bukanlah sebuah bentuk diskriminasi. Namun lebih kepada upaya penyelamatan lingkungan, mengingat banyaknya lahan yang digunakan untuk bertani sawit di Indonesia.
“Kami tahu betul betapa pentingnya sektor minyak kelapa sawit bagi perekonomian Anda, untuk pekerjaan Anda dan kehidupan di daerah pedesaan. Kami berada di pihak Anda. Juga, sangat tertarik pada minyak sawit. Hampir setengah dari impor minyak kelapa sawit kami berasal dari Indonesia,” jelasnya saat diwawancarai CNBC Indonesia di Jakarta, Selasa (3/12/2019).
“Jadi itu menunjukkan kami mengambil bagian penting dari produksi Anda di sana dan karenanya kami harus menyatakan bahwa tidak ada larangan mengimpor minyak sawit ke UE. Tidak akan ada larangan ke depannya. Apa yang ada adalah dorongan dari pihak kami untuk mencoba memastikan bahwa minyak sawit dan biodiesel yang kami peroleh dari Indonesia mempromosikan keberlanjutan (sustainability).”
Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa Eropa juga tidak diam begitu saja membiarkan minyak sawit Indonesia yang kurang memenuhi standar keberlanjutan UE. Selain mempromosikan minyak sawit yang berkelanjutan, UE terus membantu Indonesia dalam mencapai keberlanjutan yang dimaksud, kata Piket.
“Kami berpikir bahwa di beberapa negara, kelapa sawit yang berasal dari Indonesia tidak memenuhi kriteria keberlanjutan. Kami sudah menghitungnya.” jelasnya.
“Tentu saja, saya pikir ada dialog yang dimulai … kami akan terus mempromosikan pembangunan berkelanjutan, khususnya yang berkaitan dengan sektor minyak kelapa sawit.”
Sebelumnya, Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) menegaskan sikap tegasnya pada diskriminasi ini saat menerima kunjungan delegasi Dewan Bisnis UE-ASEAN pekan lalu. Tidak hanya Jokowi, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto juga turut menyinggung masalah ini.
Airlangga mengatakan tidak ingin hubungan kerja sama dagang kedua negara terganggu karena persoalan diskriminasi sawit. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa Indonesia bisa saja membalas UE.
Salah satu caranya adalah dengan membatalkan pembelian pesawat Airbus. Indonesia merupakan salah konsumen terbesar dari Airbus, perusahaan pesawat terbang yang berbasis di Perancis.
“Kami ingatkan, Indonesia is the biggest buyer Airbus dan masih ada order 200 unit pesawat. Jadi kami jalan keluar terkait masalah biodiesel di Eropa,” kata Airlangga beberapa waktu lalu.
Berdasarkan penelusuran Tim Riset CNBC Indonesia, total order pesawat Airbus dari Indonesia hingga Oktober 2019 mencapai 313 unit sedangkan total delivery mencapai 95 unit. Indonesia menyumbang 5,7% dari total order di kawasan Asia Pasifik.
Jika semua order tersebut dijumlahkan maka nominalnya bisa mencapai US$ 42,8 miliar atau setara dengan Rp 599,4 triliun. Jika benar RI menggunakan peluru ini untuk menggertak Eropa tentu akan berdampak pada berkurangnya pangsa pasar Airbus di Asia Pasifik hingga 5%.
Jumlah itu jelas jauh lebih besar dari ekspor minyak sawit Indonesia ke Eropa pada 2018. Pada 2018 Indonesia mengekspor sawit hingga 4,8 juta ton ke Eropa dengan perkiraan nilai mencapai US$ 4 miliar – US$ 5 miliar. Pasar Eropa menyumbang 18,75% pangsa pasar minyak sawit RI.( Team )